Setelah enam hari perjalanan keliling kota-kota
diseluruh pulau jawa, tujuan yang terakhir adalah kota Djogjakarta. Kota yang
sering dikenal sebagai kota “pendidikan” dan juga diberi lebel oleh pemerintah
sebagai salah satu “Daerah istimewa” di Indonesia. Tujuan kita ke kota
pendidikan itu hanyalah sekedar mampir berbelanja dan berburu cinderamata khas
Jogja.
Setelah puas belanja di toko Bakpia 25, kita langsung menuju Malioboro. Disana Bus kita sempat mutar-mutar mencari tempat parkir karena terlalu banyak orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun melebur hingga ke badan jalan. Bahkan waktu itu ada juga para mahasiswa yang menggelar aksi di tengah-tengah jalan malioboro. Sungguh, suasana begitu kacau dan gaduh dengan teriakan “eksistensi” mahasiswa_dan suara kuda delman di tanbah lagi dengan sauaranya para tukang becak dan tiupan prulitnya tukang parker__jerit klakson mobil dan sepeda motor dan juga alunan gamelan kaset dangdut koplo khas jawa hingga teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu.
Djogja |
Jalan Malioboro dalam bahasa Sansekerta
berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan
acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Di sana juga ada
pasar Beringharjo dan Benteng Vredeburg, disana juga banyak pedagang kaki lima
yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik,
hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu gantungan kunci, lampu hias dan
lain sebagainya, juga blangkon serta barang-baang perak, hingga pedagang yang
menjual pernak pernik umum dan lain-lain.
Satu hal yang masih saya pertanyakan, kenapa jogja dijadikan kota pendidikan ? padahal untuk bisa dikatakan kota pendidikan, jika tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan. Saya lebih sepakat kota bunga (malang) dijadikan kota pendidikan. Kenapa ? karena disana tak-ada lagi kemiskinan dan kebodohan artinya sudah tak-ada lagi orang yang ngemis-ngemis dijalan, ngamen siang malang, pemulung grembolan dan pengangguran berjam’ah. Malang juga sekarng banyak melahirkan professor-profesor hebat dan terkenal. Sedangkan jogja, masih banyak pengemis, pengamen di mana saja dan sudah tak-mengenal waktu dan tempat. Kemudian pendidikan di jogja juga tidak terlalu menjamin, banyak tesis dan skripsi para prof dan sarjana masih menggunakan plagiatisme. Buktinya kemarin ada professor dari UGM yang ketahuan plagiatisme. Jogja belum bisa mengatasi dua masalah di atas. Jadi jogja belum “pas” kalau diberi lebel kota pendidikan. Saya sepakat jika pelebelannya jogja dilihat dari sejarah pendidikan yang ada di Indonesia.
Satu hal yang masih saya pertanyakan, kenapa jogja dijadikan kota pendidikan ? padahal untuk bisa dikatakan kota pendidikan, jika tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan. Saya lebih sepakat kota bunga (malang) dijadikan kota pendidikan. Kenapa ? karena disana tak-ada lagi kemiskinan dan kebodohan artinya sudah tak-ada lagi orang yang ngemis-ngemis dijalan, ngamen siang malang, pemulung grembolan dan pengangguran berjam’ah. Malang juga sekarng banyak melahirkan professor-profesor hebat dan terkenal. Sedangkan jogja, masih banyak pengemis, pengamen di mana saja dan sudah tak-mengenal waktu dan tempat. Kemudian pendidikan di jogja juga tidak terlalu menjamin, banyak tesis dan skripsi para prof dan sarjana masih menggunakan plagiatisme. Buktinya kemarin ada professor dari UGM yang ketahuan plagiatisme. Jogja belum bisa mengatasi dua masalah di atas. Jadi jogja belum “pas” kalau diberi lebel kota pendidikan. Saya sepakat jika pelebelannya jogja dilihat dari sejarah pendidikan yang ada di Indonesia.
![]() |
BNI |
Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar