Senin, 07 Juli 2014

DJOEKJAKARTA

Setelah enam hari perjalanan keliling kota-kota diseluruh pulau jawa, tujuan yang terakhir adalah kota Djogjakarta. Kota yang sering dikenal sebagai kota “pendidikan” dan juga diberi lebel oleh pemerintah sebagai salah satu “Daerah istimewa” di Indonesia. Tujuan kita ke kota pendidikan itu hanyalah sekedar mampir berbelanja dan berburu cinderamata khas Jogja.


Sebelum Bus menuju Malioboro (salah satu jalan di jogja sekaligus tempat belanja), kita mampir di pasar “Ole-ole Bakpia 25”_kemudian ke malioboro. Pesan orang yang pernah ke jogja, katanya “Bakpia asli jogja itu hanyah ada di toko bakpia 25 jadi kalau  mau beli ole-ole Bakpia sebaiknya kesitu saja”. Karena itu pertama kalinya saya ke jogja,  maka saya harus pastikan dulu keaslian kue-nya. Betul atau tidak, jangan sampai saya sudah beli banyak ternyata masih ada Bakpia yang Asli. Belajar dari  temanku waktu di Bandung, banyak sekali dodol yang di borongnya, ternyata masih ada dodol yang lebih murah dan enak. hehe..he..


Setelah puas belanja di toko Bakpia 25, kita langsung menuju Malioboro. Disana Bus kita sempat mutar-mutar mencari tempat parkir karena terlalu banyak orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak hanya berdiri di trotoar namun melebur hingga ke badan jalan. Bahkan waktu itu ada juga para mahasiswa yang menggelar aksi di tengah-tengah jalan malioboro. Sungguh, suasana begitu kacau dan gaduh dengan teriakan “eksistensi” mahasiswa_dan suara kuda delman di tanbah lagi dengan sauaranya para tukang becak dan tiupan prulitnya tukang parker__jerit klakson mobil dan sepeda motor dan juga alunan gamelan kaset dangdut koplo khas jawa hingga teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi satu.

Djogja
Jalan Malioboro dalam bahasa Sansekerta berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga. Di sana juga ada pasar Beringharjo dan Benteng Vredeburg, disana juga banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya, juga blangkon serta barang-baang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum dan lain-lain.

Satu hal yang masih saya pertanyakan, kenapa jogja dijadikan kota pendidikan ? padahal untuk bisa dikatakan kota pendidikan, jika tidak ada lagi kemiskinan dan kebodohan. Saya lebih sepakat kota bunga (malang) dijadikan kota pendidikan. Kenapa ? karena disana tak-ada lagi kemiskinan dan kebodohan artinya sudah tak-ada lagi orang yang ngemis-ngemis dijalan, ngamen siang malang, pemulung grembolan dan pengangguran berjam’ah. Malang juga sekarng banyak melahirkan professor-profesor hebat dan terkenal. Sedangkan jogja, masih banyak pengemis, pengamen di mana saja dan sudah tak-mengenal waktu dan tempat. Kemudian pendidikan di jogja juga tidak terlalu menjamin, banyak tesis dan skripsi para prof dan sarjana masih menggunakan plagiatisme. Buktinya kemarin ada professor dari UGM yang ketahuan plagiatisme. Jogja belum bisa mengatasi dua masalah di atas. Jadi jogja belum “pas” kalau diberi lebel kota pendidikan. Saya sepakat jika pelebelannya jogja dilihat dari sejarah pendidikan yang ada di Indonesia.

BNI
Eh__pertanyaan diatas jangan di anggap serius yoh, itu cuman guyonan, cuman iseng-iseng doank. ngak ada maksut memprofokatif. Tapi betul kok jogja itu banyak pengemis dan pengamen-nya. Yasudah__jangan diambil pusing, yang penting kalau jalan-jalan ke jogja jangan lupa mampir ke jalan malioboro. Setiap orng yang pernah ke malioboro pasti akan kembali lagi ke Djogja (kalau ada uang), Karena malioboro adalah sebuah tempat yang memberikan ispirasi dan kenangan tersendiri  di tiap benak orang yang pernah mengunjunginya. 

Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar