Senin, 10 November 2014

BERBAHASA 1 BHS OPO REK ?

Di zaman pergerakan mewujudkan Indonesia merdeka, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu perjuangan jelas tak dapat disangkal. Lewat Sumpah Pemuda, semangat dari berbagai kekuatan bangsa –tak hanya pemuda saja- kian bergelora untuk merdeka.

Memang, pada 28 Oktober 1928 pemuda-pemudi Indonesia berikrar tentang tiga hal. Para pemuda menyatakan bahwa mereka sebangsa, se-tanah air, dan “sebahasa”. Khusus yang disebut terakhir, lengkapnya adalah bahwa pemuda-pemudi “Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Di masa sekarang, tampak tak ada persoalan dengan materi sumpah untuk berbangsa dan bertanah-air yang satu. Tapi, untuk sumpah ketiga, kita mesti prihatin. Lihatlah, sikap pemuda di keseharian mereka dalam berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Ternyata, semangat mereka rendah dalam menjunjung bahasa Indonesia.

Cermatilah bahasa para pemuda sekarang. Maka, akan segera tampak bahwa sumpah yang selalu mereka ulang-ulang setiap tahun di Hari Sumpah Pemuda sama sekali tak masuk ke jiwanya. Tanda-tandanya, sangat mudah dilihat yaitu di saat mereka berbicara. Dalam menyusun kalimat mereka tampak kedodoran di saat memilih kata atau frase.

Lihatlah mutu bahasa Indonesia para pemuda dalam berkirim SMS (pesan pendek). Perhatikanlah kualitas bahasa Indonesia mereka lewat berbagai tulisannya di media sosial (semisal di facebook). Cermatilah mutu bahasa Indonesia mereka di berbagai tayangan sinetron. Dari sana kita akan mudah mendapatkan kata-kata tak baku seperti ‘biarin’, ‘ngurusin’, ‘ngapain’, ‘enggak’, ‘emang’, ‘gini’, ‘aja’, dan kata-kata lain yang sejenis dengan itu.

Para pemuda juga memerparah kualitas berbahasa mereka yaitu di saat mereka secara tanpa alasan mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Para pemuda sama sekali merasa ‘tak berdosa’ di saat mereka dengan fasih menyelipkan kata-kata ‘sorry’, ‘and’, ‘or’, ‘thank you’, dan yang sejenis dengan itu dalam kalimat-kalimatnya.

Atas keadaan yang tak sejalan dengan semangat Sumpah Pemuda ini, siapa yang harus bertanggung-jawab? Tentu saja, yang harus mawas diri adalah semua kalangan dan tak hanya pemuda saja. Bukankah dalam kehidupan ini faktor saling memengaruhi adalah sesuatu yang tak bisa kita hindari? Terlebih di negeri ini yang budaya ‘meniru pemimpin’-nya masih sangat kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar