Dewi Ulva |
“ Sadarlah Ria, kamu ini siapa
? jangan berkhayal terlalu tinggi, bisa kerja disawah saja sudah beruntung
kamu, bisa dapat uang dari pada nganggur. Jangan berharap bisa kuliah dan jadi
orang besar, bisa hidup dan makan saja sudah untung”. Kata seorang paruh baya
yang hingga kini terus terngiang di fikiranku, hatikupun dibuatnya gelisah dan
ciut, takut untuk benar-benar beranjak dan berlari dari sebuah bayang kelam
menuju jalan dengan cahaya terang.
“sedang apa kamu ndok,? Sudah malam
ayo tidur, ini udaranya dingin lo, wes ndang mlebu!” ucap ibuku sambil menepuk pundakku. Semua
lamunanku pun akhirnya hilang ikut berlalu dengan kencangnya hembusan angina
malam.
“mikir apa kamu ndok,? Wong
dapet pengumuman Lulus sekolah, danem e bagus gitu kok sedih” ucap ibu sambil
mengelus-elus kepalaku yang tengah ku sandarkan di panguannya.
“Ria bingung buk, habis
lulusmau ngapain “.
“ya kerja to ndok, wong ibu
juga sudah ndak bisa kerja, kita makan Cuma dari hasil dagangan ibu yang Cuma
bisa buat makan, la kamu pengen apa to ndok,? “
Aku hanya diam, air mata ini
mulai luluh kembali.
“lo, wong ditanya kok malah
nangis to ndok?”
“apa yang ibuk harapkan dari
ria buk ?”
“harapan ibuk, kamu itu bahagia
ndok. Kenapa to, ada permasalahan apa kamu kok tanya gitu?”
“Buk, salah ndak kalau ria
bermimpi jadi orang sukses, bisa ngebahagiain ibu dan bapak, bisa ngangkat
derajat ibu kaleh bapak ?”.
“ yo ndak to ndok, itu bagus,
ibu malah senang kalau kamu punya keinginan seperti itu, tapi ingat, kalau jadi
orang kaya jangan sombong, kalau jadi orang pinter jangan suka meremehkan orang
lain_dan ingat setiap hal yang kita lakukan itu termasuk ujian, tinggal bagaimana
kita menghadapinya. Jika kaya itu juga termasuk ujian, miskin juga ujian. Tapi
sebaik-baiknya orang kaya tetap masih tinggi derajatnya orang miskin yang
sabar, ya seperti kita ini ndok,” ucap ibu sambil terus mengelus rambutku,
“ngeeh buk,” capku sambil mengenggam
tangan ibuku.
“wes dalu, ayo masuk”.
Pesan itu terus terngiang dalam benakku, pesan ibuku yang
sekarang tengah terpatri dalam hati dan fikiranku. Sebuah pristiwa yang tak kuduga
tengah merenggut nyawa kedua orang tua ku, peristiwa naas di tahun 2013, telah
menorehkan luka terdalam dalam hidupku. Sebuah kecelakaan telah merengut nyawa
ibu dan bapakku, ketika mereka tengah pergi berbelanja dagangan untuk
berjualan.
Kini aku seorang diri tapi, hal itu tak membuatku putus
asa, kuukir mimpi yang semakin dalam, kuteruskan usaha dagang kedua orang
tuaku. Hanya bermula dari seorang pedagang roti keliling_seminggu, sebulan dan
setahun kulalui. Aku terus memutar otak tak mungkin jika aku terus hidup dalam
lingkaran hidup penuh dilemma kukuatkan tekatku dan ku patri didalam hati bahwa
“aku yakin bisa sukses”. Dengan modal yang berhasil terkumpul dari usaha dagang
keliling, aku mencoba-mencoba resep kue yang kurancang sendiri. Awalnya
kuperkenalkan resep itu ke tetangga dan saudara-saudaraku akhirnya mereka
tertarik untuk menanamkan modal di usaha yang kurintis ini. Setahun berlalu aku
menjadi sedikit bimbang karena labanya hanya pas-pasan sedangkan aku harus bisa
membuat kemajuan. Akhirnya kuputar otak dan ku buat resep baru yang mengambil
ide dari getuk, sebuah makanan desa yang ku sulap menjadi makanan berkelas
lestoran. Perlahan-lahan usahaku mulai membuahkan hasil, sedikit-demi sedikit
ku kumpulkan uang untuk membuka sebuah kios kecil dipinggir jalan dekat SMA ku
dulu. Setahun berlalu, Alhamdulillah usahaku benar-benar berkembang, dan
berhasil membuat kafe yang lumayan elit dan banyak peminatnya.
Bapak, ibuk ku teringat akan pesanmu kini kutelah menjadi
pengusaha muda yang sukses dan aku pun bertemu dengan seorang lelaki sederhana
yang memiliki akhlak yang begitu membuatku terpana. Setelah usahaku berhasil
membuat cabang dibeberapa kota di jawa timur, kuputuskan untuk segera menikah.
dan kuperkenalkan dia, seseorang yang kini tengah menjadi imam dalam hidupku. Seorang
santri bernama Yusuf Efendy yang kini tengah menjadi dosen di fakultas syariah
universitas syarif hidayatullah Jakarta. Ibu, anakmu yang dulu hanya seorang
gadis desa yang begitu sederhana , kini aku telah menjadi wanita yang berhasil.
terimakasih ibu dan bapakku, takkan lupa selalu teriring doaku untukmu disetiap
malam dan solatku. J
Penulis: Dewi Ulva
Asal: Nganjuk. Jatim
Kuliah. Trunojoyo University.
Penulis: Dewi Ulva
Asal: Nganjuk. Jatim
Kuliah. Trunojoyo University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar