Minggu, 28 Desember 2014

SEBUAH KENANGAN


           
Dewi Ulva
Mata ini terus menerawang jauh kelangit malam yang begitu hampa jika tanpa jutaan bintang dan sebuah bulan, angin malam berhembus sangat kencang disebuah desa orang menyebutnya dengan desa gambiran, disalah satu plosok kabupaten Nganjuk, ku mulai memberanikan diri untuk merajut mimpi dan mengharap kesuksesan disuatu saat nanti. Senyumku mulai mengembang ketika kulihat sebuah kertas yang bertuliskan  kata “LULUS”. Tapi, senyum itu hanya sekejap. Fikiran ini kembali berputar dengan bayang kelam yang seakan menjadi mimpi buruk.


“ Sadarlah Ria, kamu ini siapa ? jangan berkhayal terlalu tinggi, bisa kerja disawah saja sudah beruntung kamu, bisa dapat uang dari pada nganggur. Jangan berharap bisa kuliah dan jadi orang besar, bisa hidup dan makan saja sudah untung”. Kata seorang paruh baya yang hingga kini terus terngiang di fikiranku, hatikupun dibuatnya gelisah dan ciut, takut untuk benar-benar beranjak dan berlari dari sebuah bayang kelam menuju jalan dengan cahaya terang.

“sedang apa kamu ndok,? Sudah malam ayo tidur, ini udaranya dingin lo, wes ndang mlebu!”  ucap ibuku sambil menepuk pundakku. Semua lamunanku pun akhirnya hilang ikut berlalu dengan kencangnya hembusan angina malam.
“ndak papa buk, Cuma gerah didalem”. Ucapku sambil mengusap air mata yang sempat meleleh dipipiku
“mikir apa kamu ndok,? Wong dapet pengumuman Lulus sekolah, danem e bagus gitu kok sedih” ucap ibu sambil mengelus-elus kepalaku yang tengah ku sandarkan di panguannya.
“Ria bingung buk, habis lulusmau ngapain “.
“ya kerja to ndok, wong ibu juga sudah ndak bisa kerja, kita makan Cuma dari hasil dagangan ibu yang Cuma bisa buat makan, la kamu pengen apa to ndok,? “
Aku hanya diam, air mata ini mulai luluh kembali.
“lo, wong ditanya kok malah nangis to ndok?”
“apa yang ibuk harapkan dari ria buk ?”
“harapan ibuk, kamu itu bahagia ndok. Kenapa to, ada permasalahan apa kamu kok tanya gitu?”
“Buk, salah ndak kalau ria bermimpi jadi orang sukses, bisa ngebahagiain ibu dan bapak, bisa ngangkat derajat ibu kaleh bapak ?”.
“ yo ndak to ndok, itu bagus, ibu malah senang kalau kamu punya keinginan seperti itu, tapi ingat, kalau jadi orang kaya jangan sombong, kalau jadi orang pinter jangan suka meremehkan orang lain_dan ingat setiap hal yang kita lakukan itu termasuk ujian, tinggal bagaimana kita menghadapinya. Jika kaya itu juga termasuk ujian, miskin juga ujian. Tapi sebaik-baiknya orang kaya tetap masih tinggi derajatnya orang miskin yang sabar, ya seperti kita ini ndok,” ucap ibu sambil terus mengelus rambutku,
“ngeeh buk,” capku sambil mengenggam tangan ibuku.
“wes dalu, ayo masuk”.

            Pesan itu terus terngiang dalam benakku, pesan ibuku yang sekarang tengah terpatri dalam hati dan fikiranku. Sebuah pristiwa yang tak kuduga tengah merenggut nyawa kedua orang tua ku, peristiwa naas di tahun 2013, telah menorehkan luka terdalam dalam hidupku. Sebuah kecelakaan telah merengut nyawa ibu dan bapakku, ketika mereka tengah pergi berbelanja dagangan untuk berjualan.

            Kini aku seorang diri tapi, hal itu tak membuatku putus asa, kuukir mimpi yang semakin dalam, kuteruskan usaha dagang kedua orang tuaku. Hanya bermula dari seorang pedagang roti keliling_seminggu, sebulan dan setahun kulalui. Aku terus memutar otak tak mungkin jika aku terus hidup dalam lingkaran hidup penuh dilemma kukuatkan tekatku dan ku patri didalam hati bahwa “aku yakin bisa sukses”. Dengan modal yang berhasil terkumpul dari usaha dagang keliling, aku mencoba-mencoba resep kue yang kurancang sendiri. Awalnya kuperkenalkan resep itu ke tetangga dan saudara-saudaraku akhirnya mereka tertarik untuk menanamkan modal di usaha yang kurintis ini. Setahun berlalu aku menjadi sedikit bimbang karena labanya hanya pas-pasan sedangkan aku harus bisa membuat kemajuan. Akhirnya kuputar otak dan ku buat resep baru yang mengambil ide dari getuk, sebuah makanan desa yang ku sulap menjadi makanan berkelas lestoran. Perlahan-lahan usahaku mulai membuahkan hasil, sedikit-demi sedikit ku kumpulkan uang untuk membuka sebuah kios kecil dipinggir jalan dekat SMA ku dulu. Setahun berlalu, Alhamdulillah usahaku benar-benar berkembang, dan berhasil membuat kafe yang lumayan elit dan banyak peminatnya.

            Bapak, ibuk ku teringat akan pesanmu kini kutelah menjadi pengusaha muda yang sukses dan aku pun bertemu dengan seorang lelaki sederhana yang memiliki akhlak yang begitu membuatku terpana. Setelah usahaku berhasil membuat cabang dibeberapa kota di jawa timur, kuputuskan untuk segera menikah. dan kuperkenalkan dia, seseorang yang kini tengah menjadi imam dalam hidupku. Seorang santri bernama Yusuf Efendy yang kini tengah menjadi dosen di fakultas syariah universitas syarif hidayatullah Jakarta. Ibu, anakmu yang dulu hanya seorang gadis desa yang begitu sederhana , kini aku telah menjadi wanita yang berhasil. terimakasih ibu dan bapakku, takkan lupa selalu teriring doaku untukmu disetiap malam dan solatku. J





Penulis: Dewi Ulva
Asal: Nganjuk. Jatim
Kuliah. Trunojoyo University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar