Kamis, 26 Juni 2014

PENDIDIKAN APATIF DAN HUMANIS TAN MALAKA


                                         

Setiap penggalan sejarah pemikiran bangsa indonesia selalu melahirkan dan meninggalkan tokoh, ide, dan falsafah hidupnya sendiri. Khususnya dalam bidang pendidikan, ide dan falsafah hidup inilah yang menjadi kebanggaan generasi berikutnya untuk senantiasa di “toleh” untuk diambil “api”-nya dan dinyalakan kembali hari ini. Di antara tokoh penting ranah pendidikan bangsa indonesia adalah Tan Malaka, yang sampai saat ini “api” ide pemikirannya terus digali dan dikembangkan. Dan tulisan ini hannya akan fokus pada suatu warisan penting pengarang Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) itu, yaitu pemikirannya tentang pendidikan yang apatif dan humanis.  


Jika kita berbicara tentang konsep pendidikannya Tan Malaka, tidak terlepas dari  ideologi besar Comunisme, karna ideologi marxisme-sosialisme menjadi akar dari pemikirannya Tan Malaka. Walaupun marxisme manjadi dasar dari pemikirannya, tapi terdapat perbedaan antara Tan Malaka dengan konsep pendidikan marxisme-nya Ceton, Lenin dan Stalin yang memandang pendidikan sebagai media “mengomoniskan manusia” dan mempertahankan status quo ideologi. Bagi Tan Malaka pendidikan bukanlah “mengomoniskan” masyarakat indonesia. Mengomoniskan berarti “mengateiskan” manusia, mengateiskan berarti tidak bertuhan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat indonesia yang mayoritas bertuhan dan beragama muslim, termasuk Tan Malaka sendiri. Sehingga Tan Malaka lebih melihat pendidikan untuk membangun kesadaran kritis masyarakat indonesia untuk mewujutkan transformasi ketidak adilan sosial, membangkitkan jiwa perlawanan atas praktik penjajahan imperialis-kapitalis asing dan merebut kemerdekaan 100 % dengan menggunakan bingkai analisis marxisme. Pemikiran seperti inilah yang tidak dipikirkankan oleh “pentolan-pentolan” komunis lainnya.

Saat Tan Malaka  menyelesaikan studi pendidikan gurunya di Rijksweekschool Belanda tahun 1919, Tan Malaka kemudian kembali keindonesia. Tan Malaka bersama dengan Semaun, darsono dan Serikat Islam disemarang mereka mendirikan sekolah rakyat yang bertujuan untuk melawan penindasan kolonialisme, kapitalisme dan liberalisme. Dalam praktik pendidikan disekolah yang baru itu Tan Malaka melatih para peserta didik untuk ikut aktif dalam kegiatan organisasi (ekstrakulikuler) yang diminatinya. Di organisasi itu,  para peserta didik diajarkan berdemokrasi, bersosialisasi, dan berani bicara (orator) didepan publik. Tan Malaka sangat menolak adanya praktik diktator oleh guru yang melarang peserta didik untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Maksut dan tujuan tersebut tidak lain agar peserta didik dapat mengembangkan potensinya dan menemukan kepercayaan diri. Bagi Tan Malaka kegiatan keorganisasian membuat peserta didik dapat saling mengenal dan berkomonikasi dengan yang lainnya. Selain itu, peserta didik juga belajar mengetahui dan memahami berbagai karakter psikologis maupun sosial orang lain. Dengan begitu, maka sifat simpati, empati, dan jiwa kemanusiaan akan terbentuk dengan sendiri. Dalam bukunya S.I. Semarang dan Onderwijs. Tan Malaka mengatakan “Dalam hal organisasinya tadi, kita hampir tidak menolong apa-apa. Karena maksut kita  bukan hendak mendidik anak-anak menjadi Gromopon. Kita mau dia berpikir dan berjalan sendiri”.   

Berangkat dari pengalaman Tan Malaka, dirinya melihat, selain bangsa asing yang menindas ternyata kaum pribumi terdidikpun juga ikut menindas bangsanya sendiri. Oleh karena itu, Tan Malaka mendesain praktik pendidikannya yang mengarah pada pembentukan manusia yang apatif dan humanis. Salah satu cara yang dilakukan Tan Malaka adalah kegiatan “bersih-bersih” sekolah sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Menurut Tan Malaka kegiatan “bersih-bersih” bagi anak-anak sekolah elit, dinilai pekerjaan kelas rendah, akhirnya jiwa manja, malas, feodal, apatis melekat dalam diri mereka. Peserta didik tidak diajarkan menjadi manusia manja tetapi mandiri. Maka dari itu, Tan Malaka memasukan “bersih-bersih” sebagai kegiatan sekolah sehari-hari. Disamping itu dalam “bersih-bersih” juga ada kegiatan gotong-royong. Sehingga sikap tolong menolong dan menghargai satu sama lainpun terbentuk dalam kegiatan “bersih-bersih” tersebut.

Selain Tan Malaka sendiri, masih banyak tokoh pendidikan indonesia lainnya di masa pra-kemerdekaan yang mendesain bentuk dan ide pendidikan secara sistematis, kultural, progresif, nasionalis dan kerakyatan. Kita sebut saja Ki hajar Dewantara dengan taman siswanya membuat salah satu rumusan pendidikan kebudayaan sabagai filter kebudayaan barat dan media melestarikan khazana kebudayaan indonesia dikalangan indonesia muda. Tinggal bagaimana kita memandang bentuk dan ide pendidikan itu sebagai sesuatu yang kadaluarswa atau masih relevan untuk diterapkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar