Kamis, 26 Juni 2014

PENDIDIKAN DAN INDUSTRIALISASI DI PULAU GARAM


Sebenarnya tulisan ini saya tulis hanya mengenang kembali perjalanan ketika berada di pedalaman pulau madura yang hanya berjarak 80 Km dari kota surabaya, mereka berusaha membangun kembali sejarah leluhur dengan mendirikan beberapa LSM dan Yayasan dalam mencari jati diri ditengah-tengah pergolakan dan keterpurukannya birokrasi saat ini. 


Orang- orang pedalaman madura pribumi, barangkali merupakan orang-orang terakhir di Jawa Timur yang berkontak langsung dengan Ibukota Provinsinya. Walaupun jarak kekota tidak terlalu jauh, tapi sampai saat ini pembangunan kedesa-desa masih terkesan terabaikan.  Terdapat sebuah prasangka negatif yang kuat terhadap mereka, karena ada sedikit perbedaan-perbedaan agama dan etnisitas dengan orang-orang indonesia pada umumnya dan jawa pada khususnya. Mayoritas orang jawa berkulit putih sedangkan orang madura berkulit gelap dan berkumis tebal-tebal. Ciri khas fisik seperti ini yang menimbulkan prasangka negatif kepada mereka. Orang luar madura menganggap bahwa orang madura pribumi berjiwa keras dan susah di perintah oleh orang diluar ras madura.

Sebagai bagian dari Prov Jatim, maka pemerintahan di pulau madura harus dibawa kontrol pemerintah prov. Dimadura sendiri ada empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Sumenep dan Pamekasan). Ada dua kabupaten besar “Bangkalan dan Sumenep”. Kabupaten Bangkalan baru bisa terbuka bagi pemerintah untuk mengembangkan pembangunan infastruktur dan industrialisasi besar-besaran dikawasan yang seluas seperdua dari kepulawan madura. 

Sebenarnya masih ada dua kabupaten-“Sampang dan Pamekasan” yang terkesan (terabaikan), statusnya dinomor duakan dalam urusan pemerintahan sehingga dikatagorikan sebagai bagian dari daerah tertinggal seindonesia. Hanya ada sedikit pemukiman, pembangunan, infastruktur, pendidikan dan kesehatan. Sebagian besar daerah dipenuhi oleh lahan pertanian dan pertambangan. Tapi, tidak terkordinir dengan baik oleh pemerintah daerah. Kebanyakan wilayahnya belum di eksplorasi, barangkali hanya seperdua wilayah yang berada dibawah bentuk tertentu kontrol pemerintah.

v  Sampah Industrialisasi dan Bobroknya Pendidikan dipulau Garam.

Pasca reformasi orde baru, pemerintahan di madura hanya berkonsen pada pembangunan jalan, pabrik, tanbang, perkebunan dll. Tapi, kurang berminat dalam mutu pendidikan untuk mengembangkan pemikiran yang Kritis, Agamis, Budayawan  dan dalam segi-segi manusiawi. Orang-orang madura pribumi sering dipandang sebagai faktor kendala pembangunan dari pada subjek pembangunan yang harus diberdayakan. Seiring bergesernya waktu, madura menjadi objek utama para kapitalis. Pulau yang dikenal sebagai “pulau garam” itu dijadikan ladang cocok tanam saham, para infestor berlomba-lomba mendirikan industrialisasi dibidang pertanian maupun perikanan.

Dari sekian banyaknya industrialisasi dimadura, selalu diawali dengan pembebasan tanah yang didalamnya mengandung makna merampas Hak-hak atas tanah dan terpinggirkan, sehinngga yang terjadi adalah pengangguran dari masyarakat local karena tidak berkompoten atau dianggap “sampah”. Mengingat keterbelakangannya dalam bidang pendidikan dari orang-orang madura pribumi. Maka para pendatang lebih mudah mendapatkan pekerjaan baik disektor swasta maupun pemerintahan. Orang-orang madura yang tidak berkompoten dijadikan sampah kapitalis ditanah kelahirannya sendiri, pengangguran masal dimana-mana, mereka dijajah kembali oleh bangsanya sendiri. Memaksa kebanyakan dari mereka merantau keluar kota maupun keluar negeri mancari rezeki karena takbisa memperkaya diri ditanah kelahiran sendiri.

Seharusnya seiring perkembangan industrialisasi dimadura, harus diikuti pula seiring sejalan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat local, para tuan tanah, petani dan masyarakat dipakai sebagai tenagah kerja perusahan-perusahan industri yang dibangun diatas tanahnya mereka sendiri. Istilahnya mendaurulang penduduk local yang dulunya sampah jadi barang siap pakai (dipekerjakan) agar bisa menanggulangi pengangguran dan kemiskinan akibat tidak bisa bersaing dalam mendapatkan pekerjaan. Intinya adalah bagaimana industrialisasi itu bisa mansejahtrakan rakyat, bukan merampas atau menghapus kepemilikan hak milik. Akibatnya, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin tertindas. Orang-orang yang dianggap “bodoh” hanya bisa menelan ludah, melihat tanah yang selama ini menjadi sandaran hidupnya di garap habis industri. Mereka hanya diam dan lapang dada tanpa sedikitpun menegakkan badan dan kaki menyuarakan kesejahteraan.

Di samping itu, pendidikan juga harus mandapat perhatian. Meski pendidikan tidak selalu menjanjikan seseorang untuk “menjadi”. Tapi setidaknya lewat pendidikanlah, kita bisa memanusiakan manusia. Lewat pendidikan pula kita telah merubah manusia dari pembinatangan yang tidak manusiawi. Proses pendidikan untuk menjadi manusia tidak harus menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. (Kasihan pemerintahnya mereka juga manusia butuh istirahat, makan, minum dan beol). Pemerintah  tidak mungkin langsung mengabulkan semua keinginan rakyatnya. Kepentingan kerja pemerintah juga dibatasi oleh kepentingan kepentingan yang lain. Alangka baiknya, pendidikan di tanah madura menjadi tugas dan tanggung jawab bersama semua elemen masyarakat yaitu (Umaroh, Ulama, Kiyai, Kelebun, Blateran, Preman, tukang becak, nelayan sampai ke pedagang sayur).

Dengan demekian memperoleh pendidikan tidak lagi menjadi momok penggadai hidup masyarakat madura. Otoritas pendidikan yang selama ini direnggut oleh pemerintah bisa diarahkan ke pendidikan yang lebih berkarakter kearifan local dan agamis, jika didalam masyarakat tradisional, kemanusiaan penuh dipandang jika mampu mempertahankan nilai-nilai budaya, adat istiyadat dan agamis.

Lain dulu, lain sekarang. Entah mengapa. Sebagian besar pendidikan dimadura tidak lagi kemaduraan yang lebih menekankan kepada budaya local, kecerdasan, berakhlak  dan berjiwa keislaman seperti yang diajarkan para pendahulu. Tapi sekarang beda lagi, Pendidikan di madura atau dikenal pulau santri, cenderung menekankan kepada peserta didik supaya bisa meraup harta benda (Budaya Materialistik). Singkatnya, pendidikan tak ubah tempat produksi menusia yang siap kerja berdasarkan kebutuhan pasar, agar bisa bersaing dipasaran dan menumpukan harta benda yang sebanyak banyaknya agar bisa di hargai dan dihormati. Sudah pasti itu. 

Jika budaya materialistik terus dipertahankan maka rakyat madura patut menangis panjang, masa depan masyarakat (pulau santri) tidak lagi ditentukan oleh kecerdasan. Namun ia lebih ditentukan oleh uang dan uang. Apa jadinnya jika ketika pendidikan tidak dipertaruhkan oleh otak dan akhlak, melainkan nilai nominal mata uang ?     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar