Sebenarnya tulisan ini saya tulis hanya
mengenang kembali perjalanan ketika berada di pedalaman pulau madura yang hanya
berjarak 80 Km dari kota surabaya, mereka berusaha membangun kembali sejarah
leluhur dengan mendirikan beberapa LSM dan Yayasan dalam mencari jati diri
ditengah-tengah pergolakan dan keterpurukannya birokrasi saat ini.
Orang- orang pedalaman madura
pribumi, barangkali merupakan orang-orang terakhir di Jawa Timur yang berkontak
langsung dengan Ibukota Provinsinya. Walaupun jarak kekota tidak terlalu jauh,
tapi sampai saat ini pembangunan kedesa-desa masih terkesan terabaikan. Terdapat sebuah prasangka negatif yang kuat
terhadap mereka, karena ada sedikit perbedaan-perbedaan agama dan etnisitas
dengan orang-orang indonesia pada umumnya dan jawa pada khususnya. Mayoritas
orang jawa berkulit putih sedangkan orang madura berkulit gelap dan berkumis
tebal-tebal. Ciri khas fisik seperti ini yang menimbulkan prasangka negatif
kepada mereka. Orang luar madura menganggap bahwa orang madura pribumi berjiwa
keras dan susah di perintah oleh orang diluar ras madura.
Sebagai bagian dari Prov Jatim, maka
pemerintahan di pulau madura harus dibawa kontrol pemerintah prov. Dimadura sendiri
ada empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Sumenep dan Pamekasan). Ada dua
kabupaten besar “Bangkalan dan Sumenep”. Kabupaten Bangkalan baru bisa terbuka
bagi pemerintah untuk mengembangkan pembangunan infastruktur dan
industrialisasi besar-besaran dikawasan yang seluas seperdua dari kepulawan
madura.
Sebenarnya masih ada dua kabupaten-“Sampang
dan Pamekasan” yang terkesan (terabaikan), statusnya dinomor duakan dalam
urusan pemerintahan sehingga dikatagorikan sebagai bagian dari daerah
tertinggal seindonesia. Hanya ada sedikit pemukiman, pembangunan, infastruktur,
pendidikan dan kesehatan. Sebagian besar daerah dipenuhi oleh lahan pertanian
dan pertambangan. Tapi, tidak terkordinir dengan baik oleh pemerintah daerah.
Kebanyakan wilayahnya belum di eksplorasi, barangkali hanya seperdua wilayah
yang berada dibawah bentuk tertentu kontrol pemerintah.
v Sampah Industrialisasi dan Bobroknya
Pendidikan dipulau Garam.
Pasca reformasi orde baru,
pemerintahan di madura hanya berkonsen pada pembangunan jalan, pabrik, tanbang,
perkebunan dll. Tapi, kurang berminat dalam mutu pendidikan untuk mengembangkan
pemikiran yang Kritis, Agamis, Budayawan
dan dalam segi-segi manusiawi. Orang-orang madura pribumi sering
dipandang sebagai faktor kendala pembangunan dari pada subjek pembangunan yang
harus diberdayakan. Seiring bergesernya waktu, madura menjadi objek utama para
kapitalis. Pulau yang dikenal sebagai “pulau garam” itu dijadikan ladang cocok
tanam saham, para infestor berlomba-lomba mendirikan industrialisasi dibidang
pertanian maupun perikanan.
Dari sekian banyaknya industrialisasi
dimadura, selalu diawali dengan pembebasan tanah yang didalamnya mengandung
makna merampas Hak-hak atas tanah dan terpinggirkan, sehinngga yang terjadi
adalah pengangguran dari masyarakat local karena tidak berkompoten atau
dianggap “sampah”. Mengingat keterbelakangannya dalam bidang pendidikan dari
orang-orang madura pribumi. Maka para pendatang lebih mudah mendapatkan
pekerjaan baik disektor swasta maupun pemerintahan. Orang-orang madura yang
tidak berkompoten dijadikan sampah kapitalis ditanah kelahirannya sendiri,
pengangguran masal dimana-mana, mereka dijajah kembali oleh bangsanya sendiri.
Memaksa kebanyakan dari mereka merantau keluar kota maupun keluar negeri
mancari rezeki karena takbisa memperkaya diri ditanah kelahiran sendiri.
Seharusnya seiring perkembangan
industrialisasi dimadura, harus diikuti pula seiring sejalan dengan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat local, para tuan tanah, petani dan masyarakat dipakai
sebagai tenagah kerja perusahan-perusahan industri yang dibangun diatas
tanahnya mereka sendiri. Istilahnya mendaurulang penduduk local yang dulunya
sampah jadi barang siap pakai (dipekerjakan) agar bisa menanggulangi
pengangguran dan kemiskinan akibat tidak bisa bersaing dalam mendapatkan
pekerjaan. Intinya adalah bagaimana industrialisasi itu bisa mansejahtrakan
rakyat, bukan merampas atau menghapus kepemilikan hak milik. Akibatnya, yang
kaya semakin kaya yang miskin semakin tertindas. Orang-orang yang dianggap “bodoh”
hanya bisa menelan ludah, melihat tanah yang selama ini menjadi sandaran
hidupnya di garap habis industri. Mereka hanya diam dan lapang dada tanpa sedikitpun
menegakkan badan dan kaki menyuarakan kesejahteraan.
Di samping itu, pendidikan juga
harus mandapat perhatian. Meski pendidikan tidak selalu menjanjikan seseorang
untuk “menjadi”. Tapi setidaknya lewat pendidikanlah, kita bisa memanusiakan
manusia. Lewat pendidikan pula kita telah merubah manusia dari pembinatangan
yang tidak manusiawi. Proses pendidikan untuk menjadi manusia tidak harus
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sepenuhnya. (Kasihan pemerintahnya mereka juga manusia butuh istirahat, makan,
minum dan beol). Pemerintah tidak
mungkin langsung mengabulkan semua keinginan rakyatnya. Kepentingan kerja
pemerintah juga dibatasi oleh kepentingan kepentingan yang lain. Alangka baiknya,
pendidikan di tanah madura menjadi tugas dan tanggung jawab bersama semua
elemen masyarakat yaitu (Umaroh, Ulama,
Kiyai, Kelebun, Blateran, Preman, tukang becak, nelayan sampai ke pedagang
sayur).
Dengan demekian memperoleh
pendidikan tidak lagi menjadi momok penggadai hidup masyarakat madura. Otoritas
pendidikan yang selama ini direnggut oleh pemerintah bisa diarahkan ke
pendidikan yang lebih berkarakter kearifan local dan agamis, jika didalam
masyarakat tradisional, kemanusiaan penuh dipandang jika mampu mempertahankan
nilai-nilai budaya, adat istiyadat dan agamis.
Lain dulu, lain sekarang. Entah
mengapa. Sebagian besar pendidikan dimadura tidak lagi kemaduraan yang lebih menekankan
kepada budaya local, kecerdasan, berakhlak
dan berjiwa keislaman seperti yang diajarkan para pendahulu. Tapi
sekarang beda lagi, Pendidikan di madura atau dikenal pulau santri, cenderung
menekankan kepada peserta didik supaya bisa meraup harta benda (Budaya
Materialistik). Singkatnya, pendidikan tak ubah tempat produksi menusia yang
siap kerja berdasarkan kebutuhan pasar, agar bisa bersaing dipasaran dan
menumpukan harta benda yang sebanyak banyaknya agar bisa di hargai dan
dihormati. Sudah pasti itu.
Jika budaya materialistik terus
dipertahankan maka rakyat madura patut menangis panjang, masa depan masyarakat
(pulau santri) tidak lagi ditentukan oleh kecerdasan. Namun ia lebih ditentukan
oleh uang dan uang. Apa jadinnya jika ketika pendidikan tidak dipertaruhkan
oleh otak dan akhlak, melainkan nilai nominal mata uang ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar