Kamis, 26 Juni 2014

PURNAMA_KU_



Purnama yang ku cinta telah pergi diam diam, aku hidup tanpa purnama yang ku cinta. Tidak hidup, tidak mati, tapi hidup tanpanya adalah kutukan, hidup tanpanya terasa  sembilu dalam detik hari hariku. Terkadang aku ingin menjelma laut, siapa tahu purnama yang kucinta muncul dari garam dan buih. Sampai enam bulan berlalu Aku terus menunggu, tapi purnamaku takpernah muncul, purnamaku telah pergi hidup tanpanya adalah kutukan.


Ambooh, mungkin kau tak percaya ini. Dua minggu yang lalu, Aku melihat purnamaku yang dulu hilang, Ia masih semulus dan seindah dulu.  Di tengah sisi jembatan aku melihatnya berdiri sendirian dengan wajah muram, dibawa sinar bulan. Ia tetap berdiri di atas jembatan. Aku terus memandanginya, mataku tak puas dengan bulan yang jatuh dialisnya. Tubuhnya kini hanya terbalut kebaya tipis dan hatiku terus mengagguminya, ia begitu tenang berdiri dan terus berdiri diatas jembatan sendirian membatu dalam diam.

Jam menunjukan angka 20:30 ia masih sendiri diatas jembatan dan dibawa lampu jalan yang meredup meratapi sepi, nyanyian malam sama sekali tak diindahkan. Aku bergegas keras mendekatinya, memberi salam dari belakangnya, ia sedikit kaget mendengar salamku. Langsung ku perkenalkan namaku. Ia seakan takpercaya kalau itu adalah aku. Ternyata kehadiranku membuatnya semakin kaku sampai ia lupa menjawab salamku. Aku tak tahu apa yang dirasakannya dengan kehadiranku. Tapi, lentur suaranya gemetar mugkin karena pertemuan yang takdirencanakan. Terasa kagum dan takjub sampai air matanya tumpah seakan mengulang sejarah masalalu saat kita bernostalgia. Kebutulan ada tisu dalam kantongku, kuberikkan padanya. Ia mengambil dengan tersedu-sedu. Menyeka sudut-sudut matanya yang basah dan ia berterima kasih padaku dengan senyuman malu.

Aku mengantarnya pulang dengan vespa butut yang tak berplat nomor polisi, tangan mulusnya melingkar dipinggangku, merabahkan wajah halusnya di punggungku. Menikmati aroma parfumku sampai lupa bau vespa bututku, semakin kupercepat vespaku semakin kencang pelukannya, dadaku terasa sesak seakan aku terpenjara oleh pelukannya. Tiba-tiba, tanyaku dengan nada setengah berteriak “Aku takterima kepergianmu diam-diam, tanpa menghadap tepat di mataku. Tapi kau malah menghilang entah kemana, hingga takdapat mengenal dirimu yang sebenarnya. Kau berikan sebuah kata kata bermakna harapan, tapi kau malah meninggalkan ku sendiri menunggu kabar tanpa harapan. Kenapa ?”

“Meskipun aku tak pernah memberi salam perpisahan dan lebih milih hilang diam-diam tanpa berpapasan lewat lisan yang telanjang, yakin diriku kau paham maksutku. Jangan pernah kau sebut sayang selama aku masih melihat fatamorgana dan Jangan pernah kau sebut pacar selama aku mesih terbayang diselumuti malam yang penuh dengan sengsara. Masihkah aku percaya setelah kau robek-robek perasaanku dengan suara suara getirmu, kau iris dengan sembilu dan serdadu ?” jawabnya. 

“Dihari itu, hanyalah sebatas kesalah paham diriku, tiba tiba semuanya menjadi kelabu. Ma’afkan kata- kataku yang telah mencabik-cabik nafasmu dan suara-suara getirku  telah merobek robek perasaanmu””. Jelasku.
“Mungkin itu adalah hidup yang harus kita maknai bersama”. Jawabnya.

Setelah terlintas percakapan singkat, sampailah pada tempat tujuan. Malam semakin gelap dan sunyi seperti kota hantu, lampu-lampu telah dimatikan, Aku mengantarkannya jalan menuju kos-kosan melewati lorong-lorong gelap dan langit telah memberikan isyarat, malam akan hujan. Sampai depan kosan aku biarkan ia berjalan sendirian. Beberapa tetes hujan menyentuh punggungku,  ia menutup pagar besi dari dalam, kemudian senyum  sendiri dan berkata “ Jemput aku besok diseper dua malam”.    

“Ambooh, saat itu. Aku melihat dua belas warna dalam senyum itu, salah satunya warna jingga dan disaat itu pula, aku telah tersiram warna jingganya”.

Besok malamnya pas di seper dua malam, Aku berada dalam telapak tangan orang yang menggenggam telapak tanganku, dibawa sinar bulan malam yang malu malu sembunyi dibalik awan kelabu. Bersama dendangkan lagu layu dan genggaman telapak tangan kami saling mengayun, membuat putaran dan melingkar. Nyayian-nyayian kami ikut berputar dan menjadi udara yang kami hirup, ribuan bintang dilangit berkelap-kelip menghiasi suasana malam kami, kemudian Ia berdiri setelah melepaskan jemariku dalam genggamannya dan hembusan angin malam memainkan rambut ikalnya. Iya berjalan terbalik menuju kekiri, langkahnya disambung-sambung kemudian berbalik dengan malu yang membuatnya sibuk menggaruk.

Kami pulang berjalan kaki, Malam tanbah gelap dan pekat, dingin menusuk sampai kesum-sum tulang kami. lampu-lampu kamar dimatikan, tak ada kendaraan yang lalu-lalang. Gubuk-gubuk pedagang kaki lima, gang-gang gelap yang menjaga pemabuk busuk  pulang dengan minuman murahannya dan pelacur tetek-bengkek jalanan membuat malam yang lain. Bau sampah dari bekas comberang sepanjang trotoar jalan. Para pemulung menutup kesunyian malam dengan suara kaleng-kaleng bekas. Kami terus menyusuri jalan, bergandengan tangan. Sate madura, soto lamongan. nasi lontong, nasi campur, mie ayam, nasi goreng banyak yang jualan di pinggiran jalan . 

Setelah keling-keliling dijalan kami  memutuskan makan diwarung lamongan tak berdinding dan tak beratap, warungnya cukup ramai. Aku memesan nasi goreng dengan teh hangat, sedangkan ia mie ayam dengan teh kemasan plus es batu. Sang pemilik warung tak nyediakan  meja makan, semua orang makanya lesehan kamipun ikut lesehan.

Selesai makan aku mengantarnya pulang, berjalan kaki lewat jembatan layang. Mengambil jalan pintas, menyusuri lorong-lorong kota yang sepi di bawa kemegahan pencakar-pencakar langit. Kita terus bejalan bergandengan tangan sampai ditempat tujuan. Tapi malam ini, tak seperti malam sebelumnya ketika aku mengantarnya pulang hanyah sampai didepan kosan. Kali ia memintaku mengantarnya sampai kedalam kosan. Melihat lihat kamar tidurnya seluas 6x6 m, kasur, mejamakan, dapur, toilet, musolah dan lemari semuanya dikumpulin jadi satu dalam satu ruangan, ku lihat ia mengganti pakaianya, tapi aku masih berdiri dalam diam dan penuh tanda tanya. Tanpa bertanya Ia langsung memelukku, mengajariku berpelukan dan bergandengan tangan, merasakan dekapan dadanya. Mengajariku membuka celana panjang, mengajariku biologi dalam pelukannya. Aku mulai kedinginan, jiwaku tegang, tubuhku diulas-ulas olehnya sampai hasratku membuncak.

Sungguh begitu seram dan menakutkan gairah syeitan menaklukan persendianku, bermukim kenegeri syahwat ku, merobek robek imanku, menghalalkan apa yang diharamkan, membenarkan apa yang takdibenarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar