Purnama yang ku cinta telah pergi
diam diam, aku hidup tanpa purnama yang ku cinta. Tidak hidup, tidak mati, tapi
hidup tanpanya adalah kutukan, hidup tanpanya terasa sembilu dalam detik hari hariku. Terkadang
aku ingin menjelma laut, siapa tahu purnama yang kucinta muncul dari garam dan
buih. Sampai enam bulan berlalu Aku terus menunggu, tapi purnamaku takpernah
muncul, purnamaku telah pergi hidup tanpanya adalah kutukan.
Ambooh,
mungkin kau tak percaya ini. Dua minggu yang lalu, Aku melihat purnamaku yang
dulu hilang, Ia masih semulus dan seindah dulu.
Di tengah sisi jembatan aku melihatnya berdiri sendirian dengan wajah
muram, dibawa sinar bulan. Ia tetap berdiri di atas jembatan. Aku terus
memandanginya, mataku tak puas dengan bulan yang jatuh dialisnya. Tubuhnya kini
hanya terbalut kebaya tipis dan hatiku terus mengagguminya, ia begitu tenang
berdiri dan terus berdiri diatas jembatan sendirian membatu dalam diam.
Jam
menunjukan angka 20:30 ia masih sendiri diatas jembatan dan dibawa lampu jalan
yang meredup meratapi sepi, nyanyian malam sama sekali tak diindahkan. Aku
bergegas keras mendekatinya, memberi salam dari belakangnya, ia sedikit kaget
mendengar salamku. Langsung ku perkenalkan namaku. Ia seakan takpercaya kalau
itu adalah aku. Ternyata kehadiranku membuatnya semakin kaku sampai ia lupa
menjawab salamku. Aku tak tahu apa yang dirasakannya dengan kehadiranku. Tapi, lentur
suaranya gemetar mugkin karena pertemuan yang takdirencanakan. Terasa kagum dan
takjub sampai air matanya tumpah seakan mengulang sejarah masalalu saat kita
bernostalgia. Kebutulan ada tisu dalam kantongku, kuberikkan padanya. Ia
mengambil dengan tersedu-sedu. Menyeka sudut-sudut matanya yang basah dan ia
berterima kasih padaku dengan senyuman malu.
Aku
mengantarnya pulang dengan vespa butut yang tak berplat nomor polisi, tangan mulusnya
melingkar dipinggangku, merabahkan wajah halusnya di punggungku. Menikmati
aroma parfumku sampai lupa bau vespa bututku, semakin kupercepat vespaku semakin
kencang pelukannya, dadaku terasa sesak seakan aku terpenjara oleh pelukannya.
Tiba-tiba, tanyaku dengan nada setengah berteriak “Aku takterima kepergianmu
diam-diam, tanpa menghadap tepat di mataku. Tapi kau malah menghilang entah
kemana, hingga takdapat mengenal dirimu yang sebenarnya. Kau berikan sebuah
kata kata bermakna harapan, tapi kau malah meninggalkan ku sendiri menunggu
kabar tanpa harapan. Kenapa ?”
“Meskipun aku tak pernah memberi
salam perpisahan dan lebih milih hilang diam-diam tanpa berpapasan lewat lisan
yang telanjang, yakin diriku kau paham maksutku. Jangan pernah kau sebut sayang
selama aku masih melihat fatamorgana dan Jangan pernah kau sebut pacar selama
aku mesih terbayang diselumuti malam yang penuh dengan sengsara. Masihkah aku
percaya setelah kau robek-robek perasaanku dengan suara suara getirmu, kau iris
dengan sembilu dan serdadu ?” jawabnya.
“Dihari itu, hanyalah sebatas
kesalah paham diriku, tiba tiba semuanya menjadi kelabu. Ma’afkan kata- kataku
yang telah mencabik-cabik nafasmu dan suara-suara getirku telah merobek robek perasaanmu””. Jelasku.
“Mungkin itu adalah hidup yang
harus kita maknai bersama”. Jawabnya.
Setelah
terlintas percakapan singkat, sampailah pada tempat tujuan. Malam semakin gelap
dan sunyi seperti kota hantu, lampu-lampu telah dimatikan, Aku mengantarkannya
jalan menuju kos-kosan melewati lorong-lorong gelap dan langit telah memberikan
isyarat, malam akan hujan. Sampai depan kosan aku biarkan ia berjalan
sendirian. Beberapa tetes hujan menyentuh punggungku, ia menutup pagar besi dari dalam, kemudian
senyum sendiri dan berkata “ Jemput aku
besok diseper dua malam”.
“Ambooh,
saat itu. Aku melihat dua belas warna dalam senyum itu, salah satunya warna
jingga dan disaat itu pula, aku telah tersiram warna jingganya”.
Besok
malamnya pas di seper dua malam, Aku berada dalam telapak tangan orang yang
menggenggam telapak tanganku, dibawa sinar bulan malam yang malu malu sembunyi
dibalik awan kelabu. Bersama dendangkan lagu layu dan genggaman telapak tangan
kami saling mengayun, membuat putaran dan melingkar. Nyayian-nyayian kami ikut
berputar dan menjadi udara yang kami hirup, ribuan bintang dilangit
berkelap-kelip menghiasi suasana malam kami, kemudian Ia berdiri setelah
melepaskan jemariku dalam genggamannya dan hembusan angin malam memainkan
rambut ikalnya. Iya berjalan terbalik menuju kekiri, langkahnya
disambung-sambung kemudian berbalik dengan malu yang membuatnya sibuk
menggaruk.
Kami
pulang berjalan kaki, Malam tanbah gelap dan pekat, dingin menusuk sampai
kesum-sum tulang kami. lampu-lampu kamar dimatikan, tak ada kendaraan yang
lalu-lalang. Gubuk-gubuk pedagang kaki lima, gang-gang gelap yang menjaga
pemabuk busuk pulang dengan minuman
murahannya dan pelacur tetek-bengkek jalanan membuat malam yang lain. Bau sampah
dari bekas comberang sepanjang trotoar jalan. Para pemulung menutup kesunyian
malam dengan suara kaleng-kaleng bekas. Kami terus menyusuri jalan,
bergandengan tangan. Sate madura, soto lamongan. nasi lontong, nasi campur, mie
ayam, nasi goreng banyak yang jualan di pinggiran jalan .
Setelah
keling-keliling dijalan kami memutuskan
makan diwarung lamongan tak berdinding dan tak beratap, warungnya cukup ramai.
Aku memesan nasi goreng dengan teh hangat, sedangkan ia mie ayam dengan teh
kemasan plus es batu. Sang pemilik warung tak nyediakan meja makan, semua orang makanya lesehan
kamipun ikut lesehan.
Selesai
makan aku mengantarnya pulang, berjalan kaki lewat jembatan layang. Mengambil jalan
pintas, menyusuri lorong-lorong kota yang sepi di bawa kemegahan pencakar-pencakar
langit. Kita terus bejalan bergandengan tangan sampai ditempat tujuan. Tapi
malam ini, tak seperti malam sebelumnya ketika aku mengantarnya pulang hanyah sampai
didepan kosan. Kali ia memintaku mengantarnya sampai kedalam kosan. Melihat
lihat kamar tidurnya seluas 6x6 m, kasur, mejamakan, dapur, toilet, musolah dan
lemari semuanya dikumpulin jadi satu dalam satu ruangan, ku lihat ia mengganti
pakaianya, tapi aku masih berdiri dalam diam dan penuh tanda tanya. Tanpa
bertanya Ia langsung memelukku, mengajariku berpelukan dan bergandengan tangan,
merasakan dekapan dadanya. Mengajariku membuka celana panjang, mengajariku
biologi dalam pelukannya. Aku mulai kedinginan, jiwaku tegang, tubuhku
diulas-ulas olehnya sampai hasratku membuncak.
Sungguh
begitu seram dan menakutkan gairah syeitan menaklukan persendianku, bermukim
kenegeri syahwat ku, merobek robek imanku, menghalalkan apa yang diharamkan,
membenarkan apa yang takdibenarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar